Tradisi Unik Ngaji Kitab Ireng Masyarakat Pedesaan Temanggung

Assalamu’alaikum.wr.wb.

Ada tradisi unik yang masih bertahan di Desa Wonoboyo, Temanggung, Jawa Tengah dan beberapa desa sekitarnya utamanya dalam hal mengaji dan metode belajar warganya dalam usaha memahami ajaran agama Islam untuk diamalkan dalam praktik kehidupan sehari-hari. Barangkali tradisi tersebut bisa dikategorikan sebagai salah satu ekspresi dari budaya Islam Nusantara meski masyarakat setempat tidak menyadarinya.

Di daerah ini setelah anak-anak mengkhatamkan mengaji Al-Qur'an 30 juz bin nadhar di rumah para ustadz atau kiai desa setempat, mereka umumnya melanjutkan pelajaran ke jenjang berikutnya dengan materi kitab-kitab kajian keislaman, mulai fiqih, tauhid hingga tasawuf secara gradual.

Tradisi Unik Ngaji Kitab Ireng Masyarakat Pedesaan Temanggung

Uniknya kitab yang dipakai untuk mengaji bukan kitab kuning sebagaimana lazimnya di pesantren, bukan pula buku berbahasa Indonesia sebagaimana di madrasah formal. Melainkan kitab-kitab berbahasa Jawa dengan tulisan Arab pegon. Orang-orang sering menyebutnya dengan nama "kitab ireng", karena sampulnya memang berwarna hitam. Dalam salah satu kitab yang berjudul Riayatul-Himmah, tertulis di halaman pembuka begini:

Ikilah kitab nazhom Riayatul-Himmah namane, tarajumah ilmu syariat telung perkoro: usul, fiqih, tasawuf. Saking Haji Ahmad Rifa'i ibni Muhammad. Syafi'iyah madzhabe, Ahlu Sunni Toriqote.

(Inilah kitab Riayatul-Himmah namanya, terjemah ilmu syariat meliputi tiga macam ilmu:  usul, fiqih dan tasawuf. Dari Haji Ahmad Rifa'i ibni Muhammad. Syafi'iyah madzhabnya. Ahlussunnah haluannya).

Kitab-kitab tersebut merupakan karya KH. Ahmad Rifa'i yang berjumlah belasan buah kitab dengan ragam cabang ilmu keislaman. KH A Rifai adalah ulama yang hidup pada masa penjajahan Belanda dan akhirnya dibuang ke Ambon, Maluku, sampai akhir hayatnya.
Baca juga artikel menarik lainnya : Pohon Sahabi, Pohon Berusia 1400 Tahun yang Menjadi Saksi Keagungan Nabi Muhammad SAW
Ulama kelahiran Kendal itu kini telah diakui pemerintah sebagai pahlawan nasional. Kitab-kitab berbahasa Jawa tulisan Arab pegon tersebut selain digunakan sebagai materi mengaji usia anak-anak, juga kerap dipakai sebagai rujukan dalam pengajian-pengajian majelis taklim yang diikuti orang dewasa baik yang diadakan mingguan ataupun selapanan. Pendek kata, anak-anak dan sekelompok orang dewasa tadi mempelajari Islam melalui guru tidak melalui sumber-sumber asli yang berbahasa Arab, tapi melalui sumber terjemahan yang sudah menggunakan bahasa daerah, yaitu bahasa Jawa. 

Dan sebenarnya kitab-kitab yang dipergunakan tersebut dapat pula dikategorikan sebagai kitab kuning bila mengikutu definisi kitab kuning yang diberikan oleh Prof. Azyumardi Azra. Karena Azyumardi Azra mendefinisikan kitab kuning adalah kitab-kitab keagamaan berbahasa Arab, Melayu, Jawa atau bahasa-bahasa lokal lain di Indonesia dengan menggunakan aksara Arab, yang selain ditulis oleh ulama di timur tengah, juga ditulis oleh ulama indonesia sendiri. (Azyumardi Azra, 2000).

Lebih dari sekadar mendengarkan penjelasan guru, anak-anak dan orang dewasa peserta majelis taklim di atas,  mereka juga masing-masing memiliki macam-macam kitab berbahasa Jawa tulisan Arab pegon itu sehingga mereka selain dapat menyimak materi yang disampaikan kiai di tempat pengajian, mereka juga dapat memutolaah atau mempelajari kembali melalui kitab-kitab tersebut di rumah masing-masing bahkan tidak sedikit yang menghafalkannya.
Baca juga : Kisah Orang Tekun Ibadah yang Masuk Neraka
Selain dijadikan materi mengaji untuk memahami ajaran Islam, kitab-kitab berbahasa Jawa itu juga lazim dijadikan bacaan untuk pujian setelah azan, yaitu jeda waktu sebelum shalat jamaah didirikan sembari menunggu berkumpulnya jamaah. Jadi saat pujian itu mereka menukil dari kitab-kitab Jawa di atas misalnya membaca materi syarat dan rukunnya shalat, hal-hal yang membatalkan wudhu, dan semacamnya. Misalnya yang dikutip seperti syair di bawah ini yang membahas air yang sah untuk berwudzu:

Utawi banyu kang sah ginawe sucine iku banyu papitu werno wilangane

Banyu udan banyu segoro banyu kaline banyu sumur banyu sumberan tinemune

Banyu bun banyu burud iku kinawaruhan lamon durung paham mongko wajib pitakonan


Meskipun kitab-kitab yang dijadikan rujukan belajar dan pujian di atas merupakan terjemahan, namun penulisnya, KH A Rifa'i,  juga selalu menyertakan sumber-sumber teks asli yang umumnya dinukil dari literatur yang tergolong mu'tabar. Menjadi ciri khas dalam kitab tersebut untuk teks-teks asli baik berupa dalil Al-Qur'an, hadis maupun qaul ulama tertulis menggunakan tinta merah, dan untuk terjemahan bahasa Jawanya tertulis dengan tinta hitam. (M Haromain) #nu.or.id

Sekian, wassalamu’alaikum.wr.wb.

Subscribe to receive free email updates:

2 Responses to "Tradisi Unik Ngaji Kitab Ireng Masyarakat Pedesaan Temanggung"

  1. Waw tradisi di daerah wonosobo sangat unik, kalo di desa saya sudah jarang mengaji bareng ..

    ReplyDelete
  2. iya Om Kang Mhan.... di daerah saya sendiri (jatim) sekarang sudah gak kayak dulu saat masih kecil semarak ngaji barengnya...mungkin sudah jamannya...

    ReplyDelete