Ini Pandangan Islam Seputar Otopsi Jenazah
Assalamu’alaikum.wr.wb.
Kematian
seorang manusia adalah berpisahnya ruh dari jasadnya, saat seseorang sudah
ditinggalkan oleh ruhnya, maka habis sudah masa hidupnya di dunia ini.
Demikian
disampaikan Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah (Urais binsyar),
Muhammad Tambrin, saat didaulat menjadi narasumber pada Seminar Medikolegal
bertema “Kasus Kematian yang mencurigakan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan”
yang digelar di Ruang Prof Sarwono, Gedung A RSCM, Sabtu (26/11).
Dikatakan
Tambrin, di dalam Kitab Suci Al-Qur’an, sedikitnya terdapat dari 145 ayat yang
menyebut atau membahas masalah kematian, sementara tentang waktu dan bagaimana
seseorang mengalami kematian, tidak ada yang tahu.
Ilustrasi |
“Tentang
waktu kematian adalah rahasia Allah semata. Tidak ada yang tahu kapan, di mana
dan bagaimana seseorang akan mati, karena kematian menyangkut terpisahnya ruh
dengan badan, dan tidak ada yang tahu banyak tentang soal ruh kecuali
AllahSWT”, paparnya.
Dalam
kesempatan itu, mantan Kepala Kanwil Kemenag Kalimantan Selatan itu juga memaparkan
dua sudut pandang terkait kematian mendadak. Mengutip Badan PBB untuk Kesehatan
Dunia, WHO Tambrin mengatakan bahwa kematian mendadak adalah kematian yang
terjadi pada 24 jam sejak gejala-gejala mulai timbul. “Namun pada kasus-kasus
forensik, sebagian besar kematian terjadi dalam hitungan menit atau bahkan
detik sejak gejala pertama timbul,” katanya.
Tambrin
menambahkan, kematian mendadak tidak selalu tidak diduga, dan kematian yang tak
diduga tidak selalu terjadi mendadak, namun amat sering keduanya ada bersamaan
pada suatu kasus.
“Terminologi
kematian mendadak dibatasi pada suatu kematian alamiah yang terjadi tanpa
diduga dan terjadi secara mendadak. Kematian alamiah di sini berarti kematian
hanya disebabkan oleh penyakit bukan akibat trauma atau racun,” jelasnya.
Sementara
itu, dijelaskan Tambrin, dalam ajaran Islam, peristiwa kematian, baik yang
mendadak maupun normal, semuanya mengalami apa yang dinamakan sakaratul maut,
yakni semacam hilangnya kesadaran yang diikuti oleh lepasnya ruh dari jasad.
“Kematian
yang dihadapi manusia diibaratkan oleh Nabi Muhammad Saw seperti duri yang
berada didalam kapas dan dicabut dengan keras,” katanya menjelaskan.
Baca juga: Pesan Rasulullah Sebelum Wafat
Hukum
Islam terkait Otopsi terhadap Jenazah
Terkait
dengan otopsi terhadap jenazah, secara panjang lebar, alumni IAIN Antasari dan
Universitas Islam Nusantara itu menjelaskan bahwa bedah mayat dapat dibagi tiga
tujuan, yaitu (1) bedah mayat pendidikan (autopsi anatomis), (2)
bedah mayat keilmuan (autopsi klinis), dan (3) bedah mayat
kehakiman (autopsi forensik).
“0topsi
dengan tiga tujuan di atas hukumnya boleh dengan syarat, pertama apabila
diperlukan atau darurat; kedua
mendapat izin dari yang bersangkutan saat hidupnya atau diizinkan oleh
keluarganya setelah matinya; dan ketiga yang dibedah tidak melewati
batas yang diperlukan,” Jelasnya.
Ditambahkan
Tambrin, untuk mengetahui status hukum terhadap tindakan otopsi mayat yang
digunakan sebagai pembuktian hukum di pengadilan, dalam kajian hukum Islam
dapat menggunakan teori Qawa’id al-Fiqhiyah sebagaimana yang diterapkan
dalam kaidah-kaidah berikut;
Kaidah
Pertama “Kemudaratan
yang khusus boleh dilaksanakan demi menolak kemudaratan yang bersifat umum”.
Sebuah
tindakan pembunuhan misalnya, adalah tergolong tindak pidana yang mengancam kepentingan
publik atau mendatangkan mudharat ‘am.
Untuk
menyelamatkan masyarakat dari rangkaian tindak pembunuhan maka terhadap
pelakunya harus diadili dan dihukum sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
Bukti-bukti atas tindakan pembunuhan yang dilakukannya harus diperkuat agar ia
dapat dihukum dan jangan sampai bebas dalam proses pengadilan, sungguhpun untuk
pembuktian itu harus dengan melakukan otopsi atau membedah mayat korban.
“Di dalam
hukum Islam suatu tindakan yang dilandasi oleh alasan untuk menjamin keamanan
dan keselamatan diri orang yang hidup harus lebih diutamakan daripada orang
yang sudah mati,” katanya.
Kaidah
Kedua “Kemudaratan
itu membolehkan hal-hal yang dilarang”.
Berangkat
dari fenomena di atas, maka otopsi forensik sangat penting kedudukannya sebagai
metode bantu pengungkapan kematian yang diduga karena tindak pidana. Dengan
melaksanakan otopsi forensik maka dapat dipecahkan misteri kematian yang berupa
sebab kematian, cara kematian, dan saat kematian korban.
Kaidah
Ketiga “Tiada
keharaman dalam kondisi darurat, dan tidak ada makruh dalam kondisi hajat”.
Kaidah
ketiga ini menyatakan bahwa tiadanya keharaman dalam kondisi darurat, seperti
halnya tidak adanya kemakruhan dalam kondisi hajat. Maka jika otopsi di atas
dipahami sebagai hal yang bersifat darurat, artinya satu-satunya cara
membuktikan, maka otopsi itu sudah menempati level darurat, dan karena itu
status hukumnya dibolehkan.
Kaidah
Keempat “Keperluan
dapat menduduki posisi keadaan darurat”.
Kaidah
keempat di atas dapat memperkuat argumentasi kaidah sebelumnya. Maka kaidah ini
adalah hajat menempati kedudukan darurat, baik hajat umum maupun hajat yang
bersifat perorangan.
Otopsi
untuk Mengeluarkan Benda Berharga di Tubuh Mayat
Pada
kesempatan tersebut, pria yang dilantik sebagai Direktur Urais Binsyar pada 3
Juni 2016 itu juga menjelaskan pandangan Islam seputar otopsi yang dilakukan dengan tujuan
mengeluarkan benda berharga yang terdapat pada tubuh mayat.
“Pada
contoh kasus seseorang menelan sesuatu yang bukan miliknya yang mengakibatkan
ia meninggal dunia, selanjutnya pemilik menuntut agar barang yang ada di perut
mayat dikembalikan kepadanya dan tidak ada cara lain yang bisa ditempuh kecuali
dengan membedah mayat itu untuk mengeluarkan barang yang ada di perut mayat,
maka perlu ditentukan status hukum bedah mayat tersebut apakah dibolehkan atau
diharamkan.”
Berdasarkan
ajaran Islam, katanya, haram hukumnya seseorang menguasai suatu barang yang
bukan haknya. Tindakan yang demikian akan menjadi ganjalan bagi orang yang mati
di alam sesudahnya kematiannya karena ia masih terkait dengan hak orang lain.
“Maka
kaidah yang tepat dalam persoalan seperti ini bisa dikaitkan dengan
kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang kemudaratan tadi.” Jelasnya.
Otopsi
untuk keperluan penelitian kedokteran
Sementara
itu saat membahas otopsi untuk keperluan penelitian kedokteran, Tambrin
menyebut bahwa menurut sebagian ulama mempelajari ilmu kedokteran adalah wajib
atau fardhu kifayah bagi umat Islam, karena Rasul sendiri berobat,
memberi obat serta menganjurkan untuk berobat.
“Salah
satu ilmu kedokteran yang sangat penting adalah ilmu bedah. Ilmu ini
membutuhkan pengetahuan yang luas dan dalam tentang anatomi dan fisiologi
tubuh manusia. Untuk mengembangkan ilmu ini maka penyelidikan terhadap organ
tubuh manusia menjadi sesuatu yang tidak mungkin dihindarkan, jika perlu
mengadakan pembedahan dan pemeriksaan tubuh mayat, memeriksa susunan syaraf,
rongga perut dll,” katanya.
Hal itu
dimaksudkan agar seorang tenaga medis dapat menunaikan tugas profesionalnya
dengan baik, memberikan pengobatan dan menyembuhkan penyakit yang diderita
pasien. Terkait hal tersebut, dijelaskan Tambrin, terdapat beberapa kaidah yang
harus dipenuhi.
Kaidah
Pertama, “Apabila
kewajiban tidak bisa dilaksanakan karena dengan adanya suatu hal, maka hal
tersebut juga wajib”.
Melalui
kaidah pertama ini, jelasnya, dapat dipahami bahwa sebuah kewajiban yang tidak
sempurna pelaksanaanya tanpa adanya dukungan sesuatu, maka sesuatu tersebut
hukumnya wajib pula.
Dalam
kasus seperti ini, apabila seorang dokter tidak akan bisa menjalankan
tugas-tugasnya dengan baik kecuali bila ia memahami seluk beluk anatomi tubuh
manusia, maka untuk kepentingan yang sesuai dengan profesinya ia harus memahami
seluk-beluk anatomi tubuh manusia, meskipun dengan jalan melakukan pembedahan
terhadap mayat.
Kaidah
Kedua, “Sebuah
sarana sama hukumnya dengan tujuan”.
Melalui
kaidah ini dapat dijelaskan, bahwa sebuah sarana hukumnya sama dengan tujuan.
Misalnya agama Islam mewajibkan kepada umatnya untuk memelihara kesehatan, maka
mempelajari ilmu tentang kesehatan hukumnya wajib pula. Konsekuensi lanjutanya
adalah wajib pula menyiapkan prasarana dalam menuntut ilmu kesehatan, termasuk
sarana pratikum seperti mempelajari anatomi tubuh manusia.
Hukum
Mengakhirkan Penguburan Jenazah
Dikatakan
Tambrin, hukum mengakhirkan penguburan jenazah pada dasarnya tidak diperbolehkan
kecuali;
(a) untuk
mensucikan jenazah berpenyakit menular yang menurut dokter harus ditangani
secara khusus;
(b) untuk
dilakukan otopsi dalam rangka penegakan hukum;
(c) untuk
menunggu kedatangan wali jenazah dan atau menunggu terpenuhinya empat puluh
orang yang akan menshalati dengan syarat diberitahukan segera selama tidak
dikhawatirkan ada perubahan pada jenazah.
Artikel lainnya: Ganjaran Berziarah di Makam Orangtua
“Adapun
mengakhirkan penguburan jenazah untuk keperluan studi atau membedah jenazah
setelah lama diawetkan untuk kepentingan studi dibolehkan dalam kondisi darurat
atau hajat,” jelasnya.
Untuk
batas mengakhirkan penguburan jenazah adalah sampai khaufut taghayur
(jenazah berubah) atau sampai selesainya kebutuhan di atas.
Sedangkan
rekonstruksi hukumnya boleh bahkan ada yang wajib dengan syarat pelaksanaannya
tidak ada hal-hal yang bertentangan dengan syara’ seperti membuka aurat dan
sebagainya.
Meski
begitu, Tambrin menjelaskan bahwa hukum mempertontonkan jenazah tidak boleh
kecuali ada tujuan yang dibenarkan syara’ seperti untuk tujuan agar
dengan hal tersebut dapat menjauhkan masyarakat dari perbuatan itu.
Sekian,
wassalamu’alaikum.wr.wb.
Sumber: http://bimasislam.kemenag.go.id/post/berita/muhammad-tambrin-ini-pandangan-islam-seputar-otopsi-jenazah
0 Response to "Ini Pandangan Islam Seputar Otopsi Jenazah"
Post a Comment